Redaksi | Pedoman Media Siber | Disclamair | Kontak
Opini: Fadhly Yusman
Hoax, Media, Medsos dan ITE

Wartawan UNGKAP
Jumat, 09 Nop 2018 | dilihat: 2434 kali

BERITA bohong (HOAX) saat ini menjadi topik perdebatan dikalangan publik. Bahkan dalam pandangan ahli psikologi, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan seseorang mudah percaya terhadap berita Hoax, karena sikap dan tingkah laku orang itu memiliki sikap yang tidak jauh berbeda dengan informasi opini sehingga sangat mudah percaya dengan berita-berita hoax.

Sebelum membahas pemberitaan Hoax, kita harus mengetahui apa maksud dari tulisan Hoax tersebut. Banyak situs yang menyebutkan bahwa kata Hoax pertama kali digunakan oleh para netizen berkebangsaan Amerika.

Ini mengacu pada sebuah judul film “The Hoax” pada tahun 2006 yang disutradarai oleh Lasse Hallstrom. Film ini dinilai mengandung banyak kebohongan, sejak saat itu istilah ”Hoax” muncul setiap kali ada sebuah pemberitaan palsu.

Sedangkan menurut Robert Nares, kata Hoax pertama kali muncul pada abad 18 yang merupakan kata lain dari “hocus” yakni permainan sulap.

Kata Hoax sendiri berasal dari bahasa Inggris yang artinya tipuan, menipu, berita bohong, berita palsu dan kabar burung. Jadi “Hoax” dapat diartikan sebagai ketidakbenaran.

Menurut Wikipedia, Hoax merupakan sebuah pemberitaan palsu yakni sebuah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca dan pendengarnya agar mempercayai sesuatu. Biasanya seorang yang menyebarkan berita Hoax secara sadar melakukan suatu kebohongan dan menyebarkan informasi yang tidak benar.

Menerbitkan berita atau kabar Hoax ini bertujuan menggiring opini dan kemudian membentuk persepsi terhadap suatu informasi.

Belakangan kabar atau berita Hoax cukup erat kaitannya pada isu politik. Biasanya ini dilakukan untuk menyebarkan rumor agar menguntungkan pihak tertentu. Namun juga tak jarang Hoax ditemukan pada kasus-kasus lain.

Contohnya jika seseorang penganut paham bumi datar memperoleh artikel yang membahas tentang berbagai teori konspirasi mengenai foto satelit maka secara naluri orang tersebut akan mudah percaya karena mendukung teori bumi datar yang diyakininya.

Secara alami perasaan positif akan timbul dalam diri seseorang jika opini atau keyakinannya mendapat afirmasi sehingga cenderung tidak akan mempedulikan apakah informasi yang diterimanya benar dan bahkan mudah saja bagi mereka untuk menyebarkan kembali informasi tersebut.

Hal ini juga dapat diperparah jika pengguna media atau si penyebar Hoax ini hanya memiliki segelintir pengetahuan dalam memanfaatkan internet guna mencari informasi lebih dalam atau sekadar untuk cek dan ricek fakta.

Perilaku seorang penyebaran Hoax melalui internet juga sangat dipengaruhi oleh pembuat berita baik itu individu maupun berkelompok, dari yang berpendidikan rendah sampai yang tinggi, dan terstruktur rapi.

Selain itu menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara seseorang yang memiliki keahlian khusus dalam menggunakan search engine dengan orang yang masih baru atau awam dalam menggunakan search engine. Mereka dibedakan oleh pengalaman yang dimiliki.

Individu yang memiliki pengalaman lebih banyak dalam memanfaatkan search engine, akan cenderung lebih sistematis dalam melakukan penelusuran dibandingkan dengan yang masih minim pengalaman (novice).

Berita Hoax semakin sulit dibendung walaupun sampai dengan 2016 pemerintah telah memblokir 700 ribu situs, namun setiap harinya pula berita Hoax terus bermunculan.



Pada Januari 2017 pemerintah melakukan pemblokiran terhadap 11 situs yang mengandung konten negatif, namun kasus pemblokiran tersebut tidak sampai menyentuh meja hijau.

Beberapa kasus di Indonesia terkait berita Hoax telah memakan korban, salah satunya berita Hoax akan penculikan anak yang telah tersebar di beberapa media sosial dan menyebabkan orang semakin waspada terhadap orang asing.

Peran Pemerintah dalam berita Hoax Sikap pemerintah dalam fenomena berita Hoax dipaparkan dalam beberapa pasal yang siap ditimpakan kepada penyebar Hoax tersebut antara lain, KUHP, Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Undang-Undang No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Tidak hanya itu, penyebar berita Hoax juga dapat dikenakan pasal terkait ujaran kebencian dan yang telah diatur dalam KUHP dan UU lain di luar KUHP.

Dari hukum yang dibuat oleh pemerintah, jumlah penyebar Hoax semakin besar tidak berbanding lurus dengan jumlah persidangan yang seharusnya juga besar.

Dengan masih belum mampu menjerat beberapa pelaku Hoax, sangat disayangkan pemerintah hanya melakukan pemblokiran terhadap situs-situs Hoax. Sementara si pembuat berita Hoax masih dapat terus berproduksi melakukan ancaman dan memperluas ruang gerak.

Dalam melawan Hoax dan mencegah meluasnya dampak negatif Hoax, pemerintah pada dasarnya telah memiliki payung hukum yang memadai. Pasal 28 ayat 1 dan 2 UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE, Pasal 14 dan 15 UU No. 1 tahun 1946, Pasal 311 dan 378 KUHP, serta UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskiriminasi Ras dan Etnis merupakan beberapa produk hukum yang dapat digunakan untuk memerangi penyebaran Hoax.

Selain produk hukum, pemerintah juga sedang menggulirkan kembali wacana pembentukan Badan Siber Nasional yang dapat menjadi garda terdepan dalam melawan penyebaran informasi yang menyesatkan.

Selain memanfaatkan program Internetsehat dan Trust+Positif yang selama ini menjalankan fungsi sensor dan pemblokiran situs atau website yang ditengarai memiliki materi negatif yang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

Beberapa waktu yang lalu juga mengemuka gagasan menerbitkan QR Code di setiap produk jurnalistik (berita dan artikel) yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
validitas sebuah informasi.

QR Code yang disertakan di setiap tulisan akan memuat informasi mengenai sumber berita, penulis, hingga perusahaan media yang menerbitkan tulisan tersebut sehingga suatu tulisan dapat dilacak hingga hulunya.

Selain mengasah kembali berbagai program pendidikan yang berperan dalam menanamkan budi pekerti, dari aspek pendidikan pemerintah sebenarnya dapat melawan Hoax dengan meningkatkan minat baca, berdasarkan studi “Most Littered Nation In the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.

Hal ini tergolong berbahaya karena dipadukan dengan fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan aktifitas jejaring sosial tertinggi di Asia, yang berarti sangat mudah bagi orang Indonesia untuk menyebarkan informasi Hoax tanpa menelaah lebih dalam informasi yang disebarkannya.

Peran Media dan Masyarakat Semakin berkembangnya Hoax di masyarakat juga mendorong beberapa pihak dalam mulai melawan penyebaran Hoax.


Sejak tahun 2016 lalu, Facebook mulai memperkenalkan fitur yang memungkinkan sebuah link artikel yang dibagi melalui Facebook akan diberi tanda Dispute (ditentang) bagi artikel-artikel yang ditengarai menyebarkan informasi yang dapat diragukan kebenarannya.***



Rekomendasi untuk Anda


Connect With Us





Copyright © 2013 PT. Ungkap Riau Media
All right reserved